<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6260801323778554820\x26blogName\x3dSumber+Daya+Manusia\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-sdm.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-sdm.blogspot.com/\x26vt\x3d5478989733224771995', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

03 March 2008


MENGGESER DEFINISI

Dalam proses perekrutan tenaga kerja, pelamar/pencari kerja selalu diminta mengisi sebuah formulir aplikasi berisi pertanyaan mengenai biodata serta hal lain yang berhubungan tentang diri si pelamar. Dari sejumlah pertanyaan, ada satu pertanyaan yang sering dibiarkan tetap bersih atau tidak diisi oleh pelamar, yaitu: “Sebutkan prestasi yang pernah Anda raih?”

Kalaupun ada yang mengisi, biasanya sangat sedikit prestasi yang pernah diraih, dan kuantitas orang yang mengisi terpaut sangat jauh dengan yang melewatkannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah jumlah orang yang berprestasi memang kenyataannya sangat sedikit? Sungguh sulitkah memperoleh prestasi? Sehingga dalam merekrut tenaga kerja, saya nyaris tidak menemukan calon karyawan yang memiliki banyak prestasi. Ini adalah sebuah korelasi yang aneh, mengingat data yang mereka kirim sebelumnya berupa surat lamaran dengan CV (curriculum vitae) atau resume, berisi banyak prestasi (setidaknya menurut saya).

Setelah melakukan proses interview/wawancara dan isnpeksi yang mendetil, faktanya mereka punya segudang prestasi. Mulai dari keberhasilan mereka menempuh pendidikan formil dengan nilai bagus, menguasai beberapa jenis olahraga, memiliki keterampilan atau keahlian di bidangnya masing-masing, bahkan tidak jarang seseorang memiliki beberapa keterampilan yang pantas dibanggakan. Mereka juga berhasil dalam menjalin hubungan, menikah, memiliki anak, punya rumah, kendaraan bermotor dan banyak lagi sukses yang mereka raih. Lantas mengapa mereka tidak mengisi formulir aplikasi tadi dengan prestasi tersebut? Hal apa yang membuat mereka seperti mengalami krisis kepercayaan diri? Sehingga tidak dapat menghargai apa yang telah diperolehnya. Bagaimana orang lain dapat menghargai mereka, sedangkan mereka tidak dapat menghargai diri sendiri? Lebih-lebih lagi mampu membuat orang lain bangga, jika mereka tidak memiliki rasa kebanggaan akan diri sendiri.

Rupanya hal ini dapat terjadi hanya karena sebuah hal sepele yaitu definisi.

Definisi prestasi
Mereka mendefinisikan prestasi sebagai suatu hasil luar biasa dahsyat yang telah dicapai, sebuah keberhasilan berstandard tinggi yang citranya hanya diperoleh segelintir orang. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, prestasi diasumsikan sebagai kesuksesan dengan ukuran yang dipetakannya sendiri berdasar penilaian luar selingkungannya (eksternal), bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu obyektif. Mereka membuat nilai teramat tinggi dengan memaknai prestasi sebagai barang mewah dimana sedikit orang saja yang sanggup menyandangnya. Sehingga saat perjuangannya tidak berhasil menyentuh ambang batas dari definisi tersebut, akan terjadi agresi yang meluluhkan keyakinannya.

Dari sini dapat muncul beberapa masalah seperti rasa rendah diri (inferior), kurang percaya diri, senang mengkritik hingga terus menyalahkan diri sendiri. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sekalipun, prestasi hanya diartikan sebagai “hasil yang telah dicapai”. Dengan kata lain, apapun yang pernah kita ingin raih, baik benda situasi atau kondisi, dan itu berhasil diperoleh, maka dapat dipastikan itu adalah sebuah prestasi.

Prestasi tidak mengandung konotasi negatif, artinya keberhasilan memiliki benda, situasi atau kondisi yang diharapkan adalah semata untuk kebaikan, mengingat semua orang mengharapkan dan berambisi menggapai hal-hal yang baik, meski sedikitnya untuk diri sendiri.

Penulis pernah mewawancarai seorang pelamar yang hanya berpendidikan SLTA (padahal syarat minimal yang dibutuhkan adalah D3/Diploma), Dia mengisi form aplikasi dengan berderet prestasi, yang sekilas adalah hal biasa, seperti : Lulus SD, SMP & SMA, bekerja, membiayai sekolah adik, membantu orang tua dan banyak lagi yang nampaknya kecil tanpa arti. Tapi sungguh luar biasa kepercayaan dirinya dengan melamar posisi jabatan yang notabene mensyaratkan latar belakang pendidikan di atas pendidikan formil yang dimilikinya. Ketika hal tersebut ditanyakan padanya, Ia menjawab:

“Saya memang hanya lulus SMA, tapi saya bangga lulus dari sana. Saya juga bangga dengan pekerjaan administrasi yang saat ini saya geluti, karena saya yakin pekerjaan saya sangat berarti dalam mendukung pekerjaan lain yang ujungnya membantu perusahaan dalam memenuhi tujuannya. Lagipula pekerjaan yang saya jalani dengan sungguh-sungguh, membawa dampak yang sangat berarti bagi perkembangan diri saya. Dengannya (bekerja) saya bisa banyak belajar, saya banyak memperoleh pengetahuan. Dengan bekerja saya dapat bersosialisasi, mengembangkan identitas diri, meningkatkan ketrampilan dan mengabdikan diri. Bekerja saya yakini sebagai cara saya beribadah kepada Tuhan atau ungkapan rasa syukur karena dipercaya melaksanakan sebuah amanah. Dari bekerja saya dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri, membantu orangtua, bahkan saat ini saya dapat membiayai sekolah adik saya. Jadi, karyawan seperti itulah yang akan Bapak (pewawancara/penulis) dapatkan dengan merekrut saya. Namun jika memang pendidikan menjadi syarat mutlak, saya akan menerima penolakan dengan lapang dada. Tidak akan saya merasa rendah diri apalagi menyalahkan orang lain. Bagaimana Pak? Kapan saya bisa bergabung untuk bekerja di perusahaan ini?”

Bagaimana jawaban yang diberikan si pelamar tersebut? Hebat? Meski semua yang dikatakan bukan sekedar hiperbola, tapi menurut saya biasa saja. Yang luar biasa adalah kepercayaan dirinya yang tinggi. Kebanggaannya atas prestasi yang telah dicapai itulah yang membuat saya mengambil keputusan memberinya kesempatan bekerja.

Bila kita cermati, hal pokok yang dimiliki oleh si pelamar adalah tindakan dalam menggeser definisinya terhadap kesuksesan.

Menggeser definisi
Dengan motivasi diri, sikap mental yang sehat ditambah berpikir positif, sah-sah saja bila seseorang menargetkan titik sasaran dengan harapan yang tinggi. Penulis pernah juga melakukan hal tersebut ketika memutuskan untuk menulis.

Bertumpu pada kekaguman atas karya sastra yang dibuat seorang Pramoedya Ananta Toer, maka penulis memutuskan untuk menjadi seorang yang mampu melahirkan tulisan sekelas beliau. Bahwa definisi seorang penulis sukses adalah yang mampu membuat tulisan seperti yang diciptakan Mas Pram (panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer). Setelah membaca begitu banyak buku-buku karyanya, saya mulai berlatih menulis dan terus menulis hingga berbilang tahun. Namun sejalan dengan itu, tak satu-pun tulisan yang saya buat dapat mendekati keindahan warna yang harmonis dari tulisan Mas Pram, apalagi menyamainya. Kegagalan yang terus menerus saya alami, menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri; Apakah saya tidak berbakat menulis? Sedangkan saya memiliki dukungan referensi yang jauh lebih baik dari yang dimiliki Mas Pram. Saya juga menggunakan teknologi dan ketenangan hidup yang jauh lebih baik darinya, mengingat sebagian besar waktu Mas Pram banyak dihabiskan di penjara.

Lantas, apa yang salah? Evaluasi diri secara obyektif sudah saya lakukan, berpikir positif, hingga self affirmation berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri seperti: “Saya pasti bisa!”, “Saya pasti berhasil!” dan banyak lagi. Tetap saja tak satu-pun tulisan berhasil saya tetaskan. Akhirnya kegagalan demi kegagalan mampu menggerus kepercayaan diri saya hingga saya mengalami krisis kepercayaan diri. Ujung-ujungnya, saya tidak menghargai segala usaha yang pernah saya lakukan, terlebih lagi, tidak ada kebanggaan.

Untungnya, kegagalan di sini bukanlah kematian. Kegagalan adalah sebuah penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kemudian. Setelah gagal merunut tali-temali proses yang telah dijalani, saya melihat kesalahan justru terjadi pada judul skenario kehidupan yang saya citakan, yaitu definisi penulis sukses. Maka saya menggeser definisi tersebut, bahwa penulis sukses adalah seseorang yang tidak pernah berhenti menulis untuk terus menyumbangkan ide dari pikirannya untuk kemaslahatan dan perbaikan hidup orang lain.

Seseorang tidak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Tulisan yang saya buat, mungkin tidak berarti sama sekali untuk sekelompok orang, basi buat komunitas lain, tapi untuk segelintir orang yang baru atau terus belajar, tulisan ini memiliki pencerahan tersendiri. Bukankah ilmu itu akan hilang kalau kita tidak mengikatnya dengan tulisan? Meski belum banyak ide dan pemikiran yang saya sumbangkan dalam bentuk tulisan, tapi dengan tulisan yang dibaca banyak orang, saya sudah merasa sukses sebagai penulis dengan definisi yang saya buat, setidaknya membawa ketentraman dan kebahagiaan dalam bathin saya sendiri.

Perasaan ini mendatangkan kebanggaan yang terus memompa semangat untuk melakukan lebih. Tentunya definisi penulis sukses yang saya buat tidaklah statis. Artinya, setelah meraihnya, saya akan kembali menggeser definisi tersebut ke tingkatan di atasnya. Misalnya: Penulis sukses adalah seseorang yang tulisannya telah dibukukan dan didistribusikan ke pembaca. Hal ini memacu saya untuk terus menembus ambang batas definisi.

Persoalan menggeser definisi terhadap sesuatu, juga dapat kita lakukan untuk berbagai hal. Bisa kita lakukan untuk tujuan yang kita kejar, kondisi yang kita alami, suasana hati yang kita rasakan atau segala sesuatu yang kita miliki. Bukankah kata-kata “Kegagalan adalah sukses yang tertunda” adalah sebuah penggeseran definisi? Lihat saja dalam kamus bahasa Indonesia, gagal diartikan sebagai tidak berhasil atau tidak tercapai, yang untuk sebagian orang, gagal berarti kalah; tamat atau akhir.

Ide tulisan ini lahir saat saya ikut terjun dalam kemacetan lalu lintas saat menuju ke kantor. Definisi macet buat saya adalah barisan antrian, dimana dapat saya lalui setelah tiba giliran. Memang kondisi macet tidaklah menyenangkan, tapi apa definisi kita untuk kata “Senang”?

Relatifitas definisi
Telah disinggung pada paragraf di atas mengenai definisi yang sifatnya tidak statis, tidak absolut. Dengan kata lain, definisi yang diberikan seseorang dan didukung orang banyak, bahkan disepakati untuk ditorehkan pada buku atau kamus, bukanlah kebenaran mutlak. Artinya definisi seseorang terhadap sesuatu dapat berbeda dengan definisi orang lain. Hal ini juga menyebabkan perbedaan atas tindakan yang dilakukan.

Oleh karenanya, buatlah sendiri definisi terhadap sesuatu, jangan sekedar menelan mentah-mentah definisi yang dibuat orang lain. Kita memang tidak dapat membuat definisi sesuka hati, lebih-lebih definisi yang kita buat menyalahi makna dari sesuatu yang diartikan. Namun geserlah definisi tersebut. Dengan berpikir positif, kita dapat menggeser sebuah definisi menjadi kata yang mengandung arti positif. Tindakan yang akan dilakukan kemudian, juga adalah perbuatan positif sebagai efek langsung dari positifnya definisi yang dibuat. Tingkatkan kadarnya untuk sebuah keberhasilan yang ditempuh, dengan menggeser kembali definisi pada level di atasnya.

Definisi saya terhadap pembaca adalah: orang yang mau dan terus belajar meningkatkan perkembangan dirinya, juga memberikan pencerahan kepada penulis melalui saran atau kritikannya.

Mari kita mulai memeriksa ketepatan dari definisi terhadap sesuatu. Sudah tepatkah definisi yang ada dengan perasaan, pikiran dan kondisi kita masing-masing.


Jakarta, 29 Februari 2008
Mugi Subagyo

"Penulis adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, Graphic Designer, Senior di dunia percetakan dan pemerhati Bahasa & Sastra Indonesia. Mugi dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Manajemen sumberdaya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, pegawai dan masyarakat.